Bagi-Bagi Cerita

“Bu, aku pergi dulu ya, Assalamu’alaikum” pamit Tiwi ke Ibu “Wa’alaikumsalam, mau kemana Wi?” jawab Ibu Tiwi yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah. “Ke rumah Elyas, mau ngerjain tugas Biologi” sahut Tiwi sambil berlalu.

Sesampai di Rumah Elyas, baru Tiwi yang datang, padahal ada 5 orang setiap kelompoknya. “Masa’ baru aku nih yang baru berangkat? Lainnya pada ke mana?”. “Nggak tahu tuh… katanya pada berangkat jam 8 tet?” Jawab Elyas. “Wah kebiasaan...” kata Tiwi lagi.

Setelah hampir 20 menit menunggu, datanglah Abu dengan santainya, “Kurang lama telatnya…” sindir Tiwi. “Hhe maaf-maaf, terlambat ya” balas Abu dengan gaya cengengesannya.

Satu jam berlalu, Elyas, Abu, dan Tiwi hanya membaca-baca materi dari buku paket yang dipinjam dari perpustakaan sebagai bahan materi tugas presentasi Biologi tersebut, karena yang lain juga tidak berangkat, Tiwi dan yang lainnya jadi tidak bersemangat untuk mengerjakan tugas itu.

Di luar terdengar suara mesin motor yang baru dimatikan, Tiwi kira salah satu anggota dari kelompoknya, ternyata Rere dan Ria, karena kelompok mereka juga belum mengerjakan tugasnya, mereka berdua mengajak Tiwi jalan-jalan. “Wi, jalan-jalan yuk, lama nih nggak hangout bareng” ajak Ria. “Emm tapi aku lagi ngerjain tugas Biologinya Pak Eki nih” balas Tiwi “halah, besok-besok aja, kan masih ada 2 minggu lagi?” sahut Rere. “Iya tuh, bener yang dikatain Rere” dukung Ria dengan semangatnya. Setelah berpikir-pikir, Tiwipun setuju dengan ajakan mereka berdua. “Iya deh ikut, kelompokku juga pada nggak dateng”

Setelah mengajak beberapa teman lain, termasuk Ifa dan ika, mereka mangendarai motor, Ria dengan Tiwi, Rere dengan Ifa, dan Ika sendian. Sebenarnya mereka belum tahu mau ke mana, tiba-tiba Ifa mempunyai ide “Bagaimana kalau kita main ke rumah Gita aja? Lagipula aku belum pernah ke sana” “Setujuuuuu!!!” balas yang lain hampir bersamaan.

Ketika baru berjalan kurang lebih 1 km, mereka tidak tahu kalau ada polisi yang siap menilang orang-orang yang tidak tertib lalu lintas. “Priiiiittt…” terdengar suara yang sangat mengiang di telinga itu, tiba-tiba sudah ada 2 polisi di depan motor Ria dan Tiwi, “Kamu ikut dengan saya” kata salah satu polisi yang ditunjukkan kepada Tiwi, “dan kamu di belakang saya” kata polisi lainnya yang menyuruh Ria berada di belakangnya. ‘Aduh gawat!’ umpat Ria dalam hati.

Sampai di kantor polisi, Ria dikenakan 3 sangsi sekaligus “Pertama kamu tidak bawa helm, belum punya SIM, dan STNKpun tidak ada, jika didenda semuanya 150 ribu rupiah” kata salah satu polisi dengan lancarnya. ‘Gila uang siapa yang mau buat bayar? Mahal bener!’ ucap Ria sangat lirih.

Setelah Tiwi menelepon yang lainnya, hanya Rere yang datang ke kantor polisi, karena hanya dia yang bawa helm. Setelah kita bernogosiasi dengan pak polisi, yang membutuhkan waktu cukup lama, terpaksa Ria harus membayar 75 ribu, karena jika ikut sidang dia harus menunggu 2 hari kemudian.

Keluar dari kantor polisi, kita melanjutkan perjalanan ke rumah Gita. Di situ kita menceritakan kejadiannya Ria tadi. “Wah ini pasti gara-gara kalian pergi tidak izin ya?” tebak Gita tepat. Yang lainnya hanya bisa tersenyum mengakuinya. “Makanya, kalau ke mana-mana itu izin dulu!” nasihat sang seksi agama di kelasnya itu, dan semua kompak menjawab “Iyaaaaa Buuu!”

Setelah capek berceloteh bersama, mereka memutuskan untuk pulang. Karena penasaran dengan jalan lain, mereka memutuskan mencoba untuk melewati jalan persawahan, yang berhasil membuat mereka tersesat “Kita lewat jalan yang mana nih? Belok kanan? Atau belok kiri? Atau lurus ya?” Tanya Ifa bertubi-tubi. “Emm… kayaknya tadi kita sudah melewati jalan ini deh? Iya nggak sih?” sahut Ika. “Lalu, gimana nih? Jalannya sepi banget lagi!” Kata Rere. “Berarti dari tadi kita hanya muter-muter ya? Wah parah nih. Kalau gitu kita coba jalan yang lurus aja deh!” usul Tiwi. “Oke… kita coba dulu aja!” sahut Ria.

Seteh melewati beberapa belokan lagi, akhirnya mereka menemukan jalan raya, yang sangat ramai. Di situ kita bertemu dengan gerombolannya Difta, lalu kita sempat mengobrol dengan mereka. “Dari mana Ta?” Tanya Ria. “Nggak dari mana-mana sih, Cuma muter-muter sama prend-prend ku.” Jawabnya. “La kalian sendiri dari mana nih?” Tanya Difta kemudian. “Ini lo, baru pulang dari rumahnya Gita” balas Rere. “Ohh.. sekarang mau ke mana lagi?” tanyanya lagi. “Mau pulang aja yah..? capek nih” jawab dan usul Tiwi. “Okelah, la kamu mau ke mana?” kata Ria “Nggak tau ya, terserah mereka-mereka” balas Difta sambil menunjuk teman-temannya yang ada di seberang jalan. “Ya udah, kita duluan ya” pamit Ifa.

Setelah itu terdengar suara ‘Duarrr… bukk…’ ternyata Ifa kecelakaan, dia dan orang yang menabraknya sama-sama terjatuh. Semua terpana akan kejadian tersebut. Ifa sudah bisa berdiri, dan tidak luka sama sekali, namun Mbak yang menabrak tadi masih terduduk di atas aspal, bersama nenek yang diboncengnya. Untunglah nenek itu tidak terluka sama sekali, namun Mbak itu tadi kakinya berdarah.

Kita segera menghampiri mereka, termasuk Difta dan teman-temannya. Nenek itu merasa tidak terima dan ia marah-marah kepada Ifa. “Kamu itu bagaimana sih? Bisa naik motor apa tidak?” bentak sang nenek. “Maaf Nek, saya lihat teman saya itu sudah berhati-hati, namun Mbaknya yang terlalu kencang” bela Difta, yang sudah berpengalaman masalah lalulintas. “La terus bagaimana cucu saya ini? Kakinnya berdarah, kamu harus ganti rugi!” kata Nenek itu sambil menunjuk Ifa yang terlihat sangat pucat karena shok. Tiba-tiba Mbaknya tadi sudah bisa berdiri dan menengahi masalah ini,

“Sudah Nek, saya juga tidak apa-apa kok, hanya luka sedikit”

“Tidak apa-apa bagaimana? Darahnya mengalir terus begitu!”

“Paling juga sebentar lagi berhenti Nek. Sudah-sudah saya juga tadi naiknya terlalu kencang mengendarainya” ucap mbak tadi, mengakui kesalahannya.

Setelah itu suasana cukup hening, ketika Difta sedang mengasih obat merah yang ia dapat dari toko terdekat, ke kaki Mbak yang terluka tadi.

“Emmm… saya minta maaf ya mbak” kata Ifa, yang masih ‘deg-deg an’.

“Oh... tidak-tidak, malah saya yang seharusnya minta maaf, kalau begitu saya pergi dulu ya.” Pamit Mbaknya, dan tidak lama kemudian mereka pergi. Semuanya bersyukur karena Mbak tadi sangat baik hati.

Setelah semua masalah selesai, mereka memutuskan untuk pulang, dan lebih berhati-hati lagi. mereka memetik pelajaran yang sangat berharga dari kejadian-kejadian tragis di hari itu, karena 'pengalaman adalah kekayaan emas, dan guru yang sangat istimewa'.

nah, gimana tu??? bguZkan? iyakan?iyakan?

hhe, jangan mengira guru 'istimewa' itu si Sule, alias ML..

hhehe...

piiiS Pak...